top of page
Postingan Instagram Projak.jpg

Sejarah Seminari Tinggi Santo Yohanes Paulus II
Keuskupan Agung Jakarta

Bagaimana tuh awalnya?

Sejarah Terbentuknya Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta

Tempo doeloe pendidikan imam pribumi atau imam diosesan di Jakarta (waktu itu: Prefektur, lalu Vikariat Batavia) praktis tidak pernah dipikirkan secara serius dan konkret antara lain berdasarkan dua alasan. Pertama: Nyaris semua umat Katolik Batavia waktu itu adalah orang kulit putih, terutama orang Belanda, yang pelayanan terhadapnya memerlukan imam kulit putih juga. Pada tahun 1950- an saja, saat-saat awal Mgr. A. Djajasepoetra menjadi Uskup Agung Jakarta pertama dan pribumi (1953-1970), jumlah umat Katolik Belanda masih terbesar, yakni 18.269 dari total 27.896, jadi: 65,5%! (selebihnya kebanyakan adalah umat Tionghoa yang umunya tinggal di daerah Kota) Kedua: Batavia adalah kota transit untuk banyak misionaris Eropa, khususnya para Yesuit Belanda yang dari sini lalu pergi berkarya ke daerah-daerah pelosok Indonesia. Dengan demikian, cukup sulit dibayangkan bahwa mereka mempunyai konsentrasi dan tenaga untuk mengembangkan imam pribumi di Batavia ini. Namun, hal sebaliknya yang justru perlu mereka pikirkan adalah daerah-daerah 8 misi di luar Jakarta, sehingga pelayanan umat di daerah-daerah yang jauh dari pusat itu, dapat mandiri dan berkelanjutan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Seminari Menengah dan Seminari Tinggi dibangun di luar Jakarta, yakni di Mertoyudan dan di Yogyakarta (sebelumnya: di Muntilan) yang berada di Vikariat Semarang.

Kemudian situasi berubah mulai tahun 1960-an. Akibat konfrontasi sengit antara Indonesia dan Belanda menyangkut Irian Barat (1956-1958), terjadi eksodus orang Belanda besar-besaran dari Indonesia dan bersama mereka banyak umat Katolik juga, sementara “jembatan misi Belanda-Indonesia” terblokir. Selanjutnya, salah satu fakta 1970-an, yakni bahwa banyaknya umat Katolik pendatang dari daerah (Batak, Minahasa, Flores, Jawa, dll) dan “pertobatan pasca G30S” terutama di kalangan warga Tionghoa, ditambah dengan baptisan baru hasil proses katekisasi di sekolah-sekolah Katolik baru yang banyak bermunculan waktu itu, memerlukan strategi tersendiri untuk pelayanannya. Untuk itu Mgr. Leo Soekoto, Uskup Agung Jakarta (1970-1995) yang menggantikan Mgr A. Djajasepoetra, mulai mendirikan Seminari Tinggi yang memulai keseluruhan prosesnya di Jakarta, seperti masa studi di STF Driyarkara (berdiri sejak 1969). Sampai pada saat itu, mereka yang mau menjadi imam diosesan Jakarta ditugaskan untuk menempuh seluruh studi filsafat dan teologi pada Institut Filsafat dan Teologi (Fakultas Teologi Wedabhakti), Yogyakarta. Para frater itu—yang adalah para frater tingkat teologan—tinggal di Seminari Tinggi milik Keuskupan Agung Semarang, St. Paulus di Kentungan, Yogyakarta. Mulai tahun ajaran 2018/2019, STKAJ memutuskan untuk menyelenggarakan formasi seutuhnya di Jakarta, 9 khususnya di bidang akademis yang ditempuh di STF Driyarkara. Adapun keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan agar para calon imam KAJ semakin dapat mengikuti gerak serta dinamika KAJ, seperasaan dengan Gereja KAJ, dan memfokuskan refleksi teologis dalam rangka studi Magister Teologi pada Gereja KAJ sebagai locus theologicus hingga dengan demikian dapat memberikan sumbangsih berupa refleksi teologis yang relevan bagi pembangunan umat Keuskupan Agung Jakarta.

Mgr. Leo Soekoto

Pendiri Seminari Tinggi KAJ

Pada awalnya Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta (selanjutnya ditulis : ST-KAJ) tidak mempunyai nama pelindung seperti sekarang ini, yakni Santo Yohanes Paulus II. Wisma di mana para frater tinggal dinamakan seturut nama jalan, yaitu, Wisma Murdai, Wisma Cempaka Timur dan Wisma Cempaka Raya. Satu-satunya kekecualian adalah rumah Tahun Orientasi Rohani (TOR) di Klender yang mulai dipakai pada 1 Agustus 1987 dan diberi nama “Wisma Puruhita”. Dalam Bahasa Sansekerta pouruhita berarti orang yang mendalami bidang spiritual atau rohaniwan. Nama ini tentu saja sangat cocok menggambarkan tekad para frater untuk mengasah ketajaman daya rohaninya di Wisma Puruhita. Semua rumah ini memang diperuntukkan secara khusus bagi pembinaan para calon imam diosesan KAJ. Sebelum ada rumah-rumah ini, para frater sempat “mondok” berturut-turut a.l pada salah satu ruang amat sederhana di bagian belakang Kolese Kanisius tanpa Romo pembimbing khusus (pimpinan rumah dirangkap oleh rektor Kolese Kanisius saat itu, P. Kester SJ lalu P. J. Drost, SJ). Selain itu para frater KAJ juga pernah tinggal di Puruhita, di salah satu rumah yang bertetangga dengan 10 STF Driyarkara, bahkan—untuk waktu yang singkat—di Gedung KUPERDA (Kursus Pertaniang Dasar), Bogor. Kekecualian berlaku untuk beberapa frater yang dari semula memang sudah mulai studi dan tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta.

Rumah Formasi Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta

Wisma Murdai didirikan pada tahun 1980 di Jl. Murdai 1 No. 1 RT 08/013, Cempaka Putih, Jakara Pusat. Wisma ini semula diperuntukkan bagi frater filosofan yang menjalani kuliah di STF Driyarkara (1980-1982), lalu dialihfungsikan menjadi rumah Tahun Rohani (1982-1986), untuk kemudian menjadi rumah para filosofan lagi hingga 1995. Dalam perkembangan selanjutnya, mulai 1996 hingga saat buku ini ditulis, wisma ini menjadi panti sosial milik sebuah yayasan swasta yang menampung anak-anak yang dianggap membutuhkan fasilitas tersebut.

Pada waktu Tahun Orientasi Rohani untuk para calon imam mulai diintroduksikan di Keuskupan Agung Jakarta (1982), Wisma Murdai dijadikan tempat untuk tujuan itu, dan para filosofan pindah ke rumah studi baru, yaitu Wisma Cempaka Putih Timur (CPT). Alamatnya di Jl. Cempaka Putih Timur XXV No 7-8. Mgr. Leo Soekoto memberkati Wisma CPT pada hari Rabu, 19 Januari 1982. Seiring berjalannya waktu, ternyata Wisma Murdai yang dekat STF Driyarkara dirasa lebih dibutuhkan sebagai rumah para filosofan yang, lantaran Wisma CPT saja tidak dapat menampung para filosofan yang 11 jumlahnya meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, sebagai tempat TOR yang baru, pada tahun 1987 didirikanlah Wisma Puruhita (di belakang Wisma Samadi) di Jl. Balai Pustakan RT 007/02, Klender – sekarang Jl. K.H Maisin No. 84, Klender, Jakarta Timur. Dengan demikian terdapat dua wisma Seminari Tinggi yang diperlukan untuk tempat pembinaan para calon imam Diosesan KAJ.

dd.jpg

Wisma Cempaka Putih Timur

Oleh karena dalam perkembangan selanjutnya jumlah frater, baik pada jenjang TOR maupun filosofan semakin meningkat, sedangkan Wisma Cempaka Putih Timur memerlukan renovasi, pihak Keuskupan membeli sebuah rumah di Jl. Cempaka Putih Raya No. B. 32. Rumah itulah yang kemudian dikenal sebagai Wisma Cempaka Raya (Cera). Dalam perkembangannya, Wisma Cera yang mulai dihuni Agustus 2001 digunakan untuk menampung para teologan dari kalangan “panggilan dewasa” yang menempuh tahap akhir studi teologi di STF Driyarkara, Jakarta. Sementara itu para teologan asal Seminari Menengah menempuh studi ini di Fakultas Wedabhakti di Kentungan, Yogyakarta. Mulai tahun 2008 Wisma Cempaka Putih Raya sudah tidak ditinggali lagi oleh para frater dan mau dijual, lantaran lingkungannya telah berubah menjadi tidak kondusif lagi sebagai rumah mahasiswa, apalagi jumlah frater yang belajar teologi pada STF Driyarkara, Jakarta, yakni mereka dari kalangan “panggilan dewasa”, semakin sedikit, begitu pula jumlah frater filosofan di CPT. 12 Para fraternya lalu dipindahkan menjadi satu komunitas di Wisma CPT. Mulai tahun 2008, ST KAJ hanya mempunyai satu rumah studi saja, yakni Wisma Cempaka Putih Timur itu, setelah pada masa-masa sebelumnya sempat tersebar dan terpencar di sana sini.

Terkait renovasi yang sempat disinggung di atas, Wisma CPT sebelumnya mengalami peremajaan dan perluasan bangunan pada tahun 2004. Untuk itu Wisma Cempaka Putih Timur (CPT) disatukan dengan bangunan baru di sampingnya, setelah merobohkan rumah tetangga yang sudah beberapa tahun sebelumnya dibeli oleh pihak Keuskupan dan ditinggali oleh para frater selama tiga tahun (2001- 2004). Selama renovasi, para frater filosofan tingkat I-III bertempat tinggal sementara di Wisma Samadi, Klender, sedangkan para frater filosofan tingkat IV menempati Wisma Puruhita. Bagaimana dengan para frater Tahun Orientasi Rohani (TOR)? Para frater TOR angkatan 2004 (dan hanya angkatan ini) dipindahkan ke Wisma Cera dan tinggal bersama para frater teologan hingga renovasi selesai.

Nama Pelindung Seminari Tinggi Keuskupan Agung Jakarta

Pada masa-masa awal yang baru, bahkan sudah terlintas sebelum itu, ada permintaan untuk memberikan nama pelindung bagi Seminari Tinggi KAJ. Berkenaan dengan itu, banyak nama santo yang diusulkan. Pada proses pencarian nama tersebut, Paus Yohanes Paulus II masih hidup, sehingga ada sedikit keraguan untuk menjadikan namanya sebagai pelindung Seminari Tinggi KAJ walaupun ada perkembangan ke arah sana. Pada tanggal 2 April 2005, seluruh dunia berkabung, karena Paus Yohanes Paulus II meninggal dunia. Pada tahun yang sama, nama Yohanes Paulus II diputuskan untuk menjadi pelindung Seminari Tinggi KAJ. Pertimbangannya adalah bahwa Paus Yohanes Paulus II merupakan seorang pimpinan umat Kristiani yang sangat berpengaruh dan dicintai oleh Gereja dan dunia pada abad ke20, seorang imam diosesan yang dekat dengan semua orang, terkenal karena kesucian, keterbukaan dan kedalaman spiritualitasnya, serta kecerdasannya, baik di bidang filsafat maupun teologi.

800px-San_Giovanni_Paolo_II.jpg

Santo Yohanes Paulus II

Bertepatan dengan pemberkatan Wisma Cempaka Putih Timur (hasil renovasi dalam bentuknya yang sekarang ini) oleh Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Uskup KAJ (1995-2010) pada hari Senin, 19 September 2005 (sepekan sebelumnya ada acara kenduren dengan para tetangga), Seminari Tinggi KAJ secara resmi menggunakan nama Yohanes Paulus II sebagai pelindung. Mengikuti proses beatifikasi dari Tahta Suci, pada saat Paus Yohanes Paulus II dianugerahi gelar Beato, Seminari Tinggi mempunyai nama Seminari Tinggi Beato Yohanes Paulus II. Tepat pada tanggal 27 April 2014, Beato Yohanes Paulus II dikanonisasi oleh Paus Fransiskus. Pada saat yang sama, Seminari Tinggi mempunyai nama Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II – Keuskupan Agung Jakarta.

Sumber : Buku Pedoman Seminari Tinggi St. Yohanes Paulus II Keuskupan Agung Jakarta, ad experimentum 2021-2025, hlm 7-13

bottom of page