top of page
Postingan Instagram Projak.jpg

"Kebebasan: Berkat atau Kutuk?"

Penulis : Fr. Michael Guntur Panca Danuriko


Banyak orang mendambakan kebebasan: para tahanan mendambakan bebas dari hukuman, para pekerja mendambakan kebebasan finansial, para jurnalis mendambakan kebebasan berpendapat, para pecandu mendambakan kebebasan jiwa. Tetapi apakah kita benar-benar siap menghadapi kebebasan? Dihadapan beribu pilihan dan kemungkinan, bukankah kita menjadi cemas? Bukankah kebebasan selalu ada di sana tetapi kita lebih sering mengabaikannya? Bukankah kadangkala kita lebih senang menyerahkan kebebasan kita dan tunduk pada sesuatu atau seseorang? Belum lagi kalau meliputi soal Tuhan. Bagaimana kita bisa bebas dihadapan Tuhan yang Mahakuasa dan Mahatahu?

Dalam tulisan ini, saya mencoba sedikit memaparkan, secara ringan, pemikiran Sartre dan Marcel tentang kebebasan dan kaitannya dengan Tuhan. Keduanya sama-sama berasal dari Prancis dan itulah satu dari sedikit kesamaan yang bisa ditemukan dari kedua filsuf ini. Selebihnya, mereka adalah langit dan bumi, baik pemikiran maupun pilihan hidupnya. Keduanya sering dikandangkan di dalam ranah intelektual yang sama, yaitu eksistensialisme. Sartre dengan bangga mempromosikannya, sedangkan Marcel menolaknya. Sartre adalah seorang ateis garis keras yang menolak dengan tegas Tuhan atas nama kebebasan manusia. Marcel adalah seorang katolik taat yang filsafatnya menegaskan nilai-nilai kristiani. Bagaimana kemudian, kedua filsuf yang sangat berbeda, bahkan cenderung bertentangan, memikirkan kebebasan dan dalam kaitannya dengan Tuhan?

ā€˜Manusia dikutuk untuk bebas’ itulah slogan yang sangat khas dari Sartre. Kebebasan adalah kutukan yang harus ditanggung manusia. Kebebasan, sebagaimana yang sering diperjuangkan, ternyata tidak selalu bernada optimis, tetapi juga pesimis. Sartre melihat kebebasan sampai ke akar terdalam eksistensi manusia dan ternyata kebebasan membawa sesuatu yang membuat manusia menderita, yaitu kecemasan. Ia memberikan ilustrasi: bayangkan kita sedang berada di pinggir jurang! Secara spontan kita pasti merasa gelisah, bingung dan gamang. Kaki kita gemetar seperti tidak menapak. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuh. Darimana datangnya reaksi ini? Apakah karena kita takut dengan ketinggian? Tidak, akarnya adalah kecemasan. Aku menjadi cemas karena aku sadar bahwa, di satu sisi aku ada di pinggir jurang dan di sisi lain, aku bisa membayangkan diriku melompat ke jurang. Aku memiliki kebebasan bahwa aku bisa saja meloncat ke dalam jurang dan bahwa sepenuhnya tindakan itu adalah keputusanku. Aku benar-benar sendiri berhadapan dengan kebebasanku, tidak ada orang lain yang bisa mengambil alih keputusan itu. Seseorang bisa saja melarangku untuk meloncat, namun lagi-lagi,Ā semua keputusan ada di tanganku. Kemungkinan bahwa aku bisa meloncat ke jurang menghantui keberadaanku di jurang itu.Ā 

Setiap detik, kita harus menghadapi kebebasan, seorang diri. Ā Dari bangun tidur, kita sudah dihadapkan pada beribu pilihan dan kemungkinan, mulai dari bangun atau tidur lagi, mau langsung mandi atau bermain hp, mau membereskan tempat tidur atau tidak, mau mulai melangkah dengan kaki kanan atau kaki kiri. Bahkan, aku bisa saja bangun pagi dan memilih untuk bunuh diri (saranku jangan lakukan itu!). Intinya: kita benar-benar bebas. Fakta itu membuat kita terus-menerus merasa cemas, terlebih kalau kita menghadapi kebebasan itu dengan serius. Berhadapan dengan pilihan dan kemungkinan yang tidak terbatas, aku hanya bisa memilih satu kemungkinan dan sepenuhnya aku yang bertanggung jawab atas pilihan itu. TetapiĀ manusia sering kabur dari kebebasannya. Kita menjadi otomatis mengikuti apa saja yang wajar dan seharusnya dijalankan. Kita mengubur dalam-dalam kebebasan dan mengikuti saja apa yang orang lain lakukan. Parahnya, kita melemparkan kebebasan kita kepada Tuhan dan membiarkan-Nya menjadi dalang atas hidup kita sehingga kita tidak lagi bertanggung jawab atas pilihan kita sendiri.

Sartre menganalisis kebebasan pada taraf kesadaran manusia. Sartre membedakan secara ontologis manusia (being-for-itself)Ā dan benda-benda (being-in-itself). Manusia adalah makhluk berkesadaran dan benda-benda tidak memiliki kesadaran. Benda tidak sadar akan eksistensi, ia ada dan tertutup dalam dirinya sendiri. Hal itu membuat benda-benda tidak bisa menegasi eksistensinya. Sebuah buku tidak bisa menolak dirinya. Kita tidak pernah melihat buku mengatakan, ā€œaku bukan buku, aku adalah meja.ā€ Kalaupun buku bisa menjadi bantal, hal itu tidak dilakukan oleh buku itu sendiri, tetapi oleh manusia. Berbeda dengan benda-benda, kesadaran manusia bisa menegasi dirinya sendiri. Kita selalu bisa menolak apa yang ditempelkanĀ kepada kita. Orang lain mengatakan aku adalah A, tetapi aku bisa menegasinya dengan mengatakan aku adalah B. Ketika bangung pagi, aku, sebagai seorang pelajar, bisa memilih untuk berhenti menjadi pelajar dan menjadi penyanyi. Aku bisa membayangkan diriku menjadi A, B, C, dan E.

Ada semacam ruang kosong di dalam kesadaran kita sehingga kita bisa membayangkan kemungkinan lain. Kesadaran bersifat kontradiktif: aku sekaligus bukan aku. Aku selalu bisa menegasi eksistensiku atau sekurang-kurangnya mempertanyakan. Pada poin inilah Sartre menegaskan arti kebebasan manusia. Kita sepenuhnya bebas. Maka, penghalang-penghalang kebebasan manusia harus disingkirkan. Salah satunya adalah Tuhan. Sartre menghayati Tuhan sebagai seorang pengrajin. Tuhan, yang dihayati sebagai pencipta (pengrajin), adalah penghambat kebebasan manusia.

Ilustrasinya demikian: Budi adalah seorang pengrajin kursi. Sebelum membuat kursi, ia merancang terlebih dahulu kursi apa yang akan dia buat. Budi memilih untuk membuat kursi yang diperuntukan untuk anak-anak TK sehingga rancangannya pun harus disesuaikan. Rancangan yang ada dikepala Budi digambar dan kemudian dibuatlah kursi sesuai dengan rancangan itu. Kursi yang dibuat Budi ditentukan oleh rancangan yang ada di kepalanya. Sejalan dengan ilustrasi tersebut, manusia adalah ciptaan Tuhan. Tuhan adalah pengrajin absolut. Sebelum menciptakan manusia, Tuhan sudah merancang sesuatu dikepalanya. Maka, manusia selalu sudah ditentukan oleh rencana yang ada di kepala Tuhan. Penghayatan Tuhan yang demikian membuat manusia tidak bebas. Tetapi, faktanya manusia bebas. Bagi Sartre sederhana, Tuhan harus dicoret agar manusia benar-benar menghayati kebebasannya.

Pandangan Sartre soal kebebasan sangat radikal. Pandangan itu membawa kesan pesimis sekaligus optimis. Pesimis karena kebebasan yang se-radikal itu membawa serta kecemasan di dalamnya. Optimis karena kebebasan manusia menjadi sangat luas sampai tidak tahu dimana batasnya. Marcel punya pandangan lain. Bagi Macel, kebebasan adalah berkat. Berkat karena, dengan kebebasan, manusia menjadi agen dari penciptaan. Kebebasan adalah kesempatan bagi manusia untuk menciptakan dirinya sendiri. Maka, kebebasan mendapat artinya yang penuh dalam pilihan-pilihan yang signifikan. Kebebasan bukan hanya soal menegasi segala sesuatu, tetapi juga memilih sesuatu. Contoh pilihan signifikan adalah dalam pengalaman kesetiaan. Seorang ibu yang tetap setia merawat anaknya yang terlahir cacat adalah bentuk pemenuhan arti kebebasan. Seorang suami yang tetap setia pada istrinya walaupun ia mulai menyukai wanita lain adalah pemenuhan arti kebebasan.

Poin menarik yang ditekankan Marcel terkait kebebasan adalah bahwa: arti kebebasan tidak pernah dilepaskan dari relasi dengan orang lain. Kebebasan bukan sesuatu yang melayang di ruang kosong. Pemenuhan kebebasan yang sejati hanya tampil di dalam relasi dengan orang lain. Relasi dengan orang lain bukanlah pengalaman sampingan tetapi pengalaman mendasar yang menjadi dasar eksistensiku. Aku tidak pernah bisa membayangkan diriku tanpa relasi dengan orang lain. Dengan kebebasanku, aku memilih untuk menjadi seorang Ibu yang setia mencintai anaknya atau menjadi seorang suami yang setia mencintai istrinya. Ā 

Ā  Marcel mempunyai gambaran yang berbeda soal Tuhan. Kalau Sartre membayangkan Tuhan sebagai seorang pengrajin. Bagi Marcel, Tuhan adalah Realitas yang Melampaui. Kita mengalami Tuhan sebagai yang tidak terbatas. Pengalaman itu mendorong kita untuk melampaui batas-batas manusiawi kita. Pengalaman manusia memperjuangkan nilai-nilai luhur (keadilan, kebaikan, kesetiaan) memperlihatkan bahwa manusia bisa menggunakan kebebasannya untuk melampaui keterbatasan manusiawinya. Banyak orang berjuang mati-matian untuk bisa mensejahterahkan orang lain dan bukan dirinya sendiri. Tuhan adalah Kebaikan Tertinggi dan manusia selalu mengejar kebaikan. Dalam gerak itu, manusia mengaktualisasikan kebebasannya. Tuhan menjadi horizon kebebasan manusia.

Kembali pertanyaan awal: Kebabasan: Berkat atau Kutuk? Kebebasan ada pada anda!

Gambar : Para Frater Bermain Bola bersama
Gambar : Para Frater Bermain Bola bersama

Comments


bottom of page