top of page

"Berani Dibersihkan?"

Oleh :Fr. Gregorius Ian Dwi Setiawan

Bacaan :Yohanes 2:13-22


Saudara-saudari yang terkasih,


Ketika Yesus masuk ke Bait Allah dan melihat rumah Bapa-Nya berubah menjadi pasar, Ia tidak tinggal diam. Dengan cambuk tali, Ia mengusir para pedagang, menumpahkan uang, dan membalikkan meja. Ia berseru, “Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan!” Peristiwa ini bukan sekadar tindakan marah, melainkan tanda kasih yang tegas. Yesus ingin memurnikan tempat kudus dari segala sesuatu yang menghalangi kehadiran Allah. Jika dikaitkan dengan konteks hidup zaman sekarang, Bait Allah bisa kita gambarkan sebagai hati kita sendiri. Sering kali hati ini berubah menjadi pasar yang ramai dipenuhi pedagang ambisi, kesombongan, dan segala bentuk ego yang menuntut perhatian. Kita memberi makan ego kita dengan pujian, gengsi, atau keinginan untuk selalu diakui, hingga tanpa sadar kita diperbudak olehnya. Ego yang terus dipelihara membuat kita kehilangan damai dan menjauh dari Allah. Seperti pedagang di halaman Bait Allah, kita sibuk bertransaksi, tapi lupa bersembah sujud. Kita memenuhkan Ego kita sehingga Ego yang besar menimbulkan rasa cinta diri yang berlebihan. Ego yang besar merupakan bentuk perbudakan paling sempurna yang pernah dilakukan dalam sejarah manusia. Hal ini bisa dikatakan sempurna karena lain dengan perbukana yang dialami oleh bangsa Indonesia, lain dengan perbudakan kulit hitam di Amerika, perbudakan ini sangat luas dilakukan oleh banyak orang dan tidak pernah disadari geraknya. orang yang termakan Egonya sulit untuk menyadari bahwa dirinya sedang diperbudak oleh Egonya sendiri. Dengan penderitaan yang tanpa sadar inilah bisa saya katakan sebagai perbudakan yang sempurna.

Dalam sejarah, banyak orang jatuh bukan karena kurang cerdas, tetapi karena tidak mampu menundukkan ego. Kita bisa melihatnya di mana saja. Contohnya dalam Gereja, ketika pelayanan berubah menjadi ajang persaingan siapa yang paling berperan; Pelayanan bisa menjadi cara halus untuk mencari validasi dari orang lain. Dalam doa pribadi, mungkin tanpa sadar kita berdoa bukan untuk mencari Tuhan, tapi untuk meneguhkan kehendak pribadi kita.

Contoh konkrit yang terjadi dalam sejarah dunia, ketika pemimpin seperti Hitler membiarkan egonya menghancurkan jutaan nyawa, berangkat dari idealisme kebangkitan Jerman, egonya berambisi seluas dan sehebat mungkin menguasai wilayah wilayah dengan NAZI. Semuanya ini menjadi runtuh bukan karena orang lain, melainkan egonya sendiri. Kita tahu sendiri kisah akhir hidup Hitler dengan Egonya sendiri yang membunuhnya.

Sebaliknya, mereka yang berani melawan egonya, seperti yang diminta Yesus, justru mengalami kebangkitan batin. cara melawan ego adalah dengan senjata yang paling kuat bisa mengecilkan ego tersebut adalah sebuah rasa bersyukur. Bersyukur membuahkan kerendahan hati. Dengan sikap bersyukur, apapun ambisiv yang dikejar tidak akan terikat dengan ego. “Aku bersyukur karena segala hal yang Tuhan berikan, mampu membuatku semakin sadar bahwa semua ini merupakan rahmat dari Tuhan dan bukan kerja kerasku sendiri.” dalam rasa syukur, Manusia semakin merendahkan egonya dan “Bait Allah” kita semakin disucikan dan bebas dari perbudakan Ego. Yesus mengajak kita untuk membiarkan Dia masuk ke dalam hati dan membalikkan meja-meja ego yang selama ini kita rawat. Ia datang bukan untuk menghancurkan hati kita, melainkan untuk membersihkan kita agar Bait Allah dalam diri kita kembali menjadi tempat kudus bagi kasih-Nya. Barangkali saat Ia membersihkan hati kita, kita akan merasa perih, karena meja ambisi dan kesombongan kita terbalik, tapi justru di sanalah kebebasan sejati mulai tumbuh. Sebab hanya hati yang bersih dari ego yang dapat menampung kasih Allah sepenuhnya.


Gambar: Refleksi-Rekreasi Komunitas 2025
Gambar: Refleksi-Rekreasi Komunitas 2025

Komentar


bottom of page