top of page

"Setia Pada Salib yang Dipilih"

Diperbarui: 3 Nov

Oleh : Fr. Leonardo Parulian

Bacaan: Lukas 9 : 22-27


Saudara-saudari yang terkasih,


Saat saya menelisik kembali pengalaman saya saat di Nusa Tenggara Timur rasanya ada perasaan yang mengganjal dalam hati. Seorang imam yang seharusnya membuat umat senang ke gereja dan menjadi perpanjangan Tuhan, justru menjadi alasan seseorang untuk menjauh dari gereja. Dalam permenungan, saya mencoba untuk mencari alasan mengapa seseorang dapat berperilaku demikian. Tentu ada banyak faktor dan variabel, tapi setidaknya saya percaya bahwa hal ini dapat terjadi karena pribadi tertentu tidak memiliki komitmen dalam pilihan hidupnya.

Saya percaya bahwa setiap pilihan dalam hidup selalu memiliki konsekuensi. Apapun itu termasuk juga dalam konteks panggilan. Mau kita (seminaris) yang ingin menjadi seorang imam atau teman-teman yang memilih untuk bekerja di luar, semua itu punya konsekuensinya masing-masing. Saya pribadi juga meyakini secara filosofis bahwa suatu tindakan dapat dikatakan benar selama itu dipertanggungjawabkan. Sebaliknya, suatu tindakan akan menjadi salah pada saat ia tidak dipertanggungjawabkan.

Pada ayat 23 Yesus sendiri mengatakan bahwa setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Mengikuti Yesus bukan cuma sekadar mau terima enaknya saja, tetapi juga mau menderita bersama-Nya. Kadang yang sering kita temukan adalah kalau ditanya soal mau ikut Yesus atau tidak; kita akan dengan cepat menjawab mau. Akan tetapi, kalau pertanyaannya diubah sedikit menjadi, ā€œapakah mau mengorbankan apa yang kita punya demi Yesus?ā€ Baru di situ kita pikir-pikir lagi. Kita sering lupa bahwa pilihan untuk ikut Yesus bukan sebuah kehormatan atau keren-kerenan, melainkan sebuah kesetiaan dalam keseharian – kesetiaan untuk terus mau menjadi saksi Kristus sambil mencintai hidup dengan segala penderitaannya. Lukas menyebutnya dengan mencintai salib yang kita pikul.

Oleh karena itu, saya menawarkan dua buah pertanyaan reflektif untuk kita semua: 1) Apa yang menjadi tujuan hidup kita? Pertanyaan eksistensial yang pasti sering muncul dalam benak kita, namun agaknya baik untuk terus kita refleksikan. Jika belum menemukan apa yang jadi tujuan hidup kita – tidak masalah. Hal yang terpenting adalah sekarang kita memiliki kesadaran untuk mencarinya, dan tidak sekadar mengatakannya sebagai sebuah proses belaka. Kadang kala berproses itu sering menjadi romantisasi dari ketidakmauan orang untuk bergerak. Ā 2) Jika kita sudah tau apa tujuan yang ingin kita capai, maka boleh kita tanyakan kepada diri kita; apakah tindakanku dalam keseharian sudah selaras dengan tujuanku? Dalam konteks sebagai seorang seminaris/frater/imam, yang seharusnya tujuan kita semua adalah menjadi seorang imam, maka pertanyaannya dapat menjadi: apakah tindakanku dalam keseharian selaras dengan imamat yang aku perjuangkan?

Gambar: Rekoleksi Bulan Oktober.
Gambar: Rekoleksi Bulan Oktober.

Komentar


bottom of page