top of page

Kurban bagi Tuhan

Diperbarui: 15 Agu

Oleh : Fr. Rafael Advenando Kusumandaru

Bacaan Injil : Matius 5:20-26 Injil Matius menyampaikan satu pengajaran Yesus yang sangat radikal dalam khotbah di Bukit. Di sini, Yesus tidak mengajak kita untuk hanya menjadi orang yang cuma taat dengan aturan, melainkan pada kebenaran yang melampaui aturan, yang berakar pada kondisi hati dan kualitas hubungan kita dengan sesama. Yesus memanggil kita untuk melihat lebih dalam, memahami bahwa ibadah sejati dan ketaatan yang berkenan kepada Allah dimulai dari bagaimana kita mengasihi dan memperlakukan orang-orang di sekitar kita, terutama mereka yang terdekat, "orang rumah" kita.

Yesus memulai dengan sebuah pernyataan yang menggugah, "Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga." (ayat 20). Ini adalah tantangan langsung bagi kita. Ahli-ahli Taurat dan Farisi dikenal sebagai penegak hukum yang ketat, menaati setiap detail dari hukum Taurat. Namun, Yesus menunjukkan bahwa standar-Nya jauh lebih tinggi. Bukan hanya cuma menaati aturan saja, tetapi lebih dari itu.

Yesus kemudian berkata: "Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum..."Ā (ayat 22). Yesus menyamakan amarah yang tersimpan di hati, bahkan ucapan menghina seperti "Kafir!" atau "Jahil!", dengan potensi kejahatan yang lebih besar. Di rumah kita, bentuknya sering muncul dalam gosip dan menurut saya, ini bahkan bisa lebih parah daripada pertengkaran fisik. Gosip menjadi benih-benih kebencian dan permusuhan yang diam-diam mengakar di hati. Mungkin niat kita hanya ingin menghindari tindakan kasar secara langsung, tetapi justru dengan bergosip, berapa kali kita menyimpan amarah, dendam, atau melontarkan kata-kata pedas kepada orang di rumah? Bukankah itu malah "membunuh" kasih, kedamaian, dan keharmonisan dalam hubungan yang seharusnya ada dan berharga di setiap rumah?

Ayat 23-24 adalah inti dari pengajaran ini dan mungkin merupakan salah satu ajaran Yesus yang paling radikal tentang prioritas ibadah, "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di situ depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." Coba bayangkan skenario ini: kita sudah siap di kapel untuk mengikuti ibadat dan Misa setiap pagi. Kita mandi, sisiran, pakai baju yang sopan bahkan di hari-hari tertentu kita memakai jubah. Tapi di pertengahan misa, tiba-tiba Yesus menampakkan diri di salib depan, lalu menyuruh kita untuk menghentikan semuanya, mending tidak ikut misa dari pada masih punya beban hati dengan seorang yang dekat dengan kita. Kutipan ayat ini menunjukkan betapa Tuhan sangat mementingkan rekonsiliasi hubungan di atas ritual keagamaan. Ibadah kita kepada Tuhan tidak akan jadi tulus dan diterima sepenuhnya jika ada keretakan dalam hubungan kita dengan sesama, terutama mereka yang kita hadapi sehari-hari di sini. Saya rasa Tuhan tidak akan tertarik dengan kita yang sudah menyiapkan diri dengan baik untuk misa, jika hati kita penuh dengan permusuhan. Korban sejati di mata Tuhan adalah kasih yang terwujud dalam tindakan perdamaian dan kerendahan hati untuk memperbaiki hubungan yang rusak. Saya jadi ingat dengan materi ujian mata kuliah Iman Wahyu tadi, tentang definisi Wahyu menurut Dei Verbum, ā€œAllah yang tidak kelihatan, dalam limpahan kasihnya menyapa manusia sebagai sahabat dan bergaul dengan merekaā€¦ā€ Bagaimana kita bisa berkata mengasihi Tuhan yang tidak kelihatan jika kita membenci orang yang kelihatan?

Ā 

Yesus menutup bagian ini dengan sebuah perumpamaan praktis, "Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim..." Menurut saya, ini adalah peringatan keras untuk menyelesaikan konflik dengan cepat. Menyimpan rasa tidak suka/ permusuhan dengan "orang rumah" kita, entah itu karena gengsi, keras hati, atau enggan meminta maaf, bisa membawa konsekuensi yang jauh lebih besar dan lebih menyakitkan dalam jangka panjang. Semakin lama kita menunda, semakin parah masalahnya. Kurban atau persembahan yang Yesus minta di sini adalah korban waktu, korban ego, korban harga diri kita. Butuh kerendahan hati untuk mengakui kesalahan atau untuk mengulurkan tangan pertama kali. Ini adalah tindakan proaktif yang mencerminkan prioritas kita pada kasih dan perdamaian. Ketika kita memilih untuk segera berdamai, kita tidak hanya menyelamatkan hubungan, tetapi juga membuka jalan bagi berkat Tuhan dan kedamaian sejati dalam hati kita.

Bacaan ini mengingatkan kita bahwa kebenaran bagi Kristus bukanlah sekadar daftar larangan atau aturan, melainkan ajakan untuk memiliki hati yang penuh kasih, yang berani berkorban demi perdamaian dengan mereka yang paling dekat dengan kita. Inilah jalan menuju Kerajaan Sorga yang Yesus ajarkan.

Gambar : Tahbisan Diakon Keuskupan Agung Jakarta 2025
Gambar : Tahbisan Diakon Keuskupan Agung Jakarta 2025

Komentar


bottom of page