top of page

"Tuhan, Lihatlah Betapa Rendah Hatinya Aku"

Oleh : Fr. Samuel Setiawan

Bacaan : Lukas 18:9-14


Saudara-saudari yang terkasih,


Kalau kita melihat bacaan dari Lukas 18:9-14, pesannya sebenarnya cukup jelas: kerendahan hati. Dalam kisah itu, kita melihat dua macam doa, doa yang sombong dan doa yang rendah hati. Orang Farisi datang bukan untuk berbicara dengan Allah, melainkan untuk meninggikan dirinya sendiri. Ia membayangkan bahwa doanya lebih layak diterima oleh Tuhan. Dalam tafsir kitab suci, pada ayat 11 disebutkan bahwa orang Farisi berdiri dan berdoa. Maksudnya, ia berdiri di tempat yang tinggi agar dilihat orang lain, dengan kepercayaan diri yang besar. Dengan kata lain, ia berdoa kepada dirinya sendiri. Sebaliknya, pemungut cukai datang dengan hati yang hancur, menyadari dosa dan kelemahannya. Ia berdiri jauh, bahkan tidak berani menatap ke langit. Hal ini sesuai dengan ajaran Yahudi kuno yang mengatakan, “Dia yang berdosa, harus menundukkan matanya ke bawah, dan mengarahkan hatinya ke atas.”


Dari kisah ini, kita belajar tentang bahaya kesombongan rohani. Dalam kehidupan sehari-hari, siapa pun bisa jatuh dalam jebakan ini, merasa diri lebih baik, lebih benar, atau lebih rohani daripada orang lain. Kadang tanpa sadar, kita mulai menilai orang dari cara mereka berdoa, cara berpakaian, atau seberapa aktif mereka di komunitas. Kita bisa merasa nyaman dengan posisi, penghargaan, atau perlakuan baik yang kita terima, hingga lupa bahwa semua itu adalah anugerah, bukan hasil kehebatan diri kita.


Penelitian psikologis menunjukkan bahwa ketika seseorang terus-menerus mendapat respon positif tanpa kritik, ia cenderung membangun gambaran diri yang terlalu ideal. Akibatnya, ia sulit mengenali kelemahan dan batas dirinya. Jika kita tidak berhati-hati, hal ini bisa menumbuhkan kesombongan halus, perasaan bahwa kita selalu “lebih baik” dari yang lain. Lama-kelamaan, kita bisa menjadi tidak peka terhadap perasaan dan realitas orang-orang di sekitar, menjadi tone deaf secara sosial dan rohani.


Akhirnya, kerendahan hati bukan hanya tentang bagaimana kita memandang diri di hadapan Tuhan, tetapi juga bagaimana kita memandang sesama. Rendah hati berarti berani melihat bahwa setiap orang punya kisah dan perjuangannya sendiri. Panggilan kita bukan untuk menjadi yang paling hebat, melainkan untuk menjadi pribadi yang mampu mendengarkan, memahami, dan berjalan bersama orang lain. Ketika kita membuka telinga dan hati untuk mendengar cerita, kritik, dan pengalaman orang lain, di situlah Tuhan sedang membentuk kita menjadi pribadi yang lembut hati, bukan yang berbicara dari atas, tetapi yang hadir di tengah-tengah kehidupan dengan kasih dan empati.

Beberapa pertanyaan reflektif yang bisa kita permenungan adalah, ketika aku berdoa, apakah hatiku sungguh tertuju kepada Allah, atau diam-diam ingin terlihat lebih rohani dari orang lain? Lalu yang kedua, Ketika aku ditegur atau dikoreksi, apakah aku melihatnya sebagai ancaman bagi harga diriku, atau sebagai cara Tuhan membentuk hatiku agar semakin rendah dan terbuka?.

Gambar: Ret-ret 2024
Gambar: Ret-ret 2024

Komentar


bottom of page